Malaikat Mencatat Segala Amal dengan Adil
Masih dari buku 'Aalam al-Malaa'ikah al-Abraar & Aalam al-Jinn wa asy-Syayaathiin, Umar Sulaiman al-Asyqar menjelaskan bahwa Allah SWT menunjuk dua malaikat yang selalu hadir dan tidak pernah meninggalkan manusia. Keduanya bertugas mencatat seluruh perbuataan hingga perkataan manusia. Mereka ini yang dimaksud dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Infithar ayat 10-12.
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya meriwayatkan dari Hasan al-Bashri, bahwa ia membaca ayat, "(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya). Yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri." (QS Qaf: 17)
Kemudian Hasan berkata, "Wahai manusia, catatan telah dibentangkan untukmu dan kepadamu ditugaskan dua malaikat. Yang satu di sebelah kananmu dan yang lain di sebelah kirimu. Malaikat yang ada di sebelah kananmu (ditugaskan) mencatat amal kebaikan. Sementara itu, malaikat yang ada di sebelah kirimu (ditugaskan) mencatat amal keburukan. karena itu, berbuatlah semaumu, sedikit maupun banyak, hingga saat engkau mati maka ditutuplah lembaran catatanmu dna diletakkan di lehermu, bersamamu dalam kubur hingga kamu keluar dari kubur pada hari kiamat."
Hasan menambahkan, "Demi Allah, malaikat yang dijadikan sebagai pencatat amalmu itu pasti adil."
Hamba Allah SWT yang beriman tentu meyakini keberadaan malaikat, karena percaya akannya termasuk dalam salah satu rukun iman. Meski tak ada yang tahu jumlah pastinya, terdapat 10 malaikat yang diyakini, di antaranya Raqib dan Atid. Apa tugas Raqib dan Atid?
Diketahui luas oleh umat Islam, bahwa tugas malaikat Raqib dan Atid adalah mencatat seluruh perbuatan manusia, yang dilakukan maupun terucap. Raqib mencatat amal baik, sementara Atid mencatat amal buruk.
Mahmud asy-Syafrowi dalam bukunya Mengundang Malaikat ke Rumah, mengemukakan sebagian ulama menyebut terdapat malaikat bernama Raqib dan Atid di antara para malaikat yang ada. Tetapi dikatakan, pendapat ini tidak benar. Wallahu a'lam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasannya karena Raqib Atid, keduanya adalah sifat bagi dua malaikat yang mencatat amal perbuatan para hamba. Makna Raqib Atid sendiri yakni malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat), sebagaimana dalam Surat Qaf ayat 18:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ - 18
Artinya: "Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)."
Selain itu, Umar Sulaiman Al-Asyqar melalui buku 'Aalam al-Malaa'ikah al-Abraar & Aalam al-Jinn wa asy-Syayaathiin turut menyebut "Raqib Atid" adalah sifat malaikat yang berarti mengawasi dan menghitung, tidak membiarkan satu kata pun terlepas.
Meski demikian, ada juga yang menyebut bahwa malaikat Raqib Atid atau malaikat pencatat amal manusia diberi gelar 'al-Kiram al-Katibun' atau 'Kiraaman Kaatibiin'. Sesuai yang tercatat dalam Surat Al-Infithar ayat 10-12:
وَاِنَّ عَلَيْكُمْ لَحٰفِظِيْنَۙ - 10 كِرَامًا كٰتِبِيْنَۙ - 11 يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُوْنَ - 12
Artinya: "Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) pengawas yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (amal perbuatanmu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Malaikat juga Mencatat Amal Hati
Umar Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya melampirkan pendapat dari pen-syarah kitab Ath-Thahawiyyah yang menerangkan bahwa malaikat pencatat amal itu turut menuliskan amalan yang dikerjakan seseorang dalam hatinya.
Pandangan ini didasarkan pada Surat Al-Infithar ayat 12: "Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." Dijelaskan, ayat tersebut mencakup amal lahir dan batin.
Selain itu, disandarkan pula kepada hadits qudsi di mana Rasulullah SAW bersabda: "Allah SWT berfirman, "Jika hamba-Ku bermaksud melakukan kebaikan lalu tidak melakukannya, catatlah satu kebaikan untuknya. Jika ia melakukan kebaikan itu, catatlah 10 kebaikan." (Muttafaq Alaih)
Walau malaikat mengetahui amal hati seorang manusia, bukan berarti ia bertentangan dengan kemampuan Allah SWT. Melainkan malaikat bisa mengetahui beberapa hal yang ada dalam hati, yaitu kehendak dan maksud.
Adapun hal yang lain seperti keyakinan, maka tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa malaikat bisa mengetahuinya. Wallahu a'lam.
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu adalah Jibril. Selain itu, kamu tentunya juga perlu mengenali malaikat lainnya. Ada 10 malaikat yang wajib kamu kenali. Setiap malaikat memiliki tugasnya masing-masing. Dari sinilah kamu akan mengenal malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu adalah Jibril.
Berikut 10 malaikat beserta tugasnya:
Malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu adalah Jibril. Jibril berperan dalam menyampaikan wahyu kepada nabi dan rasul. Nama lain malaikat Jibril adalah Ruh al-Quds, ar-Ruh al-Amin, dan Namus.
Malaikat Mikail bertugas mengatur kesejahteraan makhluk, seperti mengatur awan, menurunkan hujan, melepaskan angin, dan membagi-bagikan rezeki.
Malaikat Israfil bertugas meniupkan terompet (sangkakala), saat dimulainya kiamat hingga saat hari berbangkit di Padang Mahsyar.
Malaikat Izrail bertugas mencabut nyawa seluruh makhluk hidup, baik manusia, jin, iblis, setan, dan malaikat apabila telah tiba waktunya.
Malaikat Munkar bertugas menanyai orang yang sudah meninggal dan berada di alam kubur.
Malaikat Nakir bertugas menanyai orang yang sudah meninggal dan berada di alam kubur.
Malaikat Raqib bertugas mencatat semua pekerjaan baik setiap manusia sejak ±qil b±lig sampai akhir hayat.
Malaikat Atid bertugas mencatat semua pekerjaan buruk setiap manusia sejak ±qil b±lig sampai akhir hayat.
Malaikat Ridwan bertugas menjaga dan mengatur kesejahteraan penghuni surga.
Malaikat Malik disebut juga malaikat zabaniyyah bertugas menjaga dan mengatur siksa (azab) bagi para penghuni neraka.
Melansir laman resmi Kemenag Jabar, cara malaikat Izrail mencabut nyawa berbeda-beda tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan. Bila orang yang akan meninggal dunia durhaka kepada Allah SWT, maka malaikat Izrail mencabut nyawanya secara kasar. Sebaliknya, bila terhadap orang yang soleh, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan dengan hati-hati.
Namun, peristiwa terpisahnya nyawa dengan raga tetap teramat menyakitkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Sakitnya sakaratul maut itu, seperti tiga ratus kali sakitnya tusukan pedang”. (HR. Ibnu Abu Dunya).
Cara malaikat Izrail mencabut nyawa bisa kamu kenali dari ceritanya bersama nabi Idris AS. Di dalam kisah Nabi Idris AS, beliau adalah seorang ahli ibadah, kuat mengerjakan shalat sampai puluhan rakaat dalam sehari semalam dan selalu berzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Hal ini menarik perhatian malaikat Izrail, sehingga ia dibolehkan Allah SWT untuk menjelma sebagai seorang lelaki, dan bertamu ke rumah Nabi Idris.
Sampai pada akhirnya Nabi Idris AS penasaran dengan tamunya tersebut dan bertanya tentang siapakah dia. Mengetahui tamunya adalah malaikat Izrail, nabi Idris AS terkejut, hampir tak percaya, seketika tubuhnya bergetar tak berdaya. Kemudian, nabi Idris AS memohon Izrail mencabut nyawanya agar ia makin rajin beribadah kepada Allah SWT. Atas izin Allah SWT, Izrail melakukannya. Kemudian nabi Idris AS dihidupkan kembali oleh Allah SWT.
“Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku?” tanya Malaikat Izrail. “Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup dikuliti”, jawab Nabi Idris AS. “Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu”, kata Malaikat Izrail. Jadi, begitulah kisah sakaratul maut dan cara malaikat Izrail mencabut nyawa makhluk. Imam Ghozali mengutip atsar Al Hasan mengatakan:
“Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”.
MALAIKAT MENCATAT SEMUA PERBUATAN MANUSIA
Oleh Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴿١٦﴾ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ﴿١٧﴾ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:16-18]
Arti Kata (Makna Mufradat) Dalam Ayat
تُوَسْوِسُ : dibisikkan. حَبْلِ الْوَرِيدِ : urat leher. يَتَلَقَّى : mencatat amal perbuatannya. الْمُتَلَقِّيَانِ : kedua malaikat. قَعِيدٌ : duduk يَلْفِظُ : terucap رَقِيبٌ : malaikat pengawas. عَتِيد : yang selalu hadir/ bersama.
Makna Ayat Secara Umum Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dialah yang menciptakan manusia, baik laki maupun perempuan, Dia Mengetahui keadaan mereka, mengetahui apa yang membuat hati mereka senang dan apa yang dibisikkan oleh hati mereka. Kedekatan-Nya dengan manusia lebih dekat daripada urat lehernya, padahal urat leher ini termasuk anggota tubuh yang paling dekat dari manusia. Yaitu urat yang berada di sekitar lubang tenggorokan. Pemberitahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini dapat memotivasi seseorang untuk murâqabah (merasa diawasi) oleh Sang Pencipta, yaitu Dzat yang mengawasi batinnya, yang dekat darinya dalam segala situasi dan kondisi. Hendaklah seseorang malu dilihat oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala jika ia mau melakukan apa yang dilarang dan meninggalkan apa yang diperintahkan. Dan sebelum seseorang mengucapkan atau melakukan kemungkaran atau meninggalkan kewajibannya, hendaklah merasa diawasi oleh malaikat yang berada di sebelah kanan dan kirinya yang siap melaksanakan tugasnya. Di sebelah kanannya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan baik, sedangkan di sebelah kirinya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan buruk. Tidak ada satu pun perkataan yang terucap, baik perkataan itu baik atau buruk melainkan ada malaikat yang senantiasa mengawasi dan hadir bersamanya untuk mencatat ucapannya tersebut.[1]
Ilmu Dan Pengetahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala Terhadap Segala Sesuatu Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ
Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan hatinya,…[Qâf/50:16].
Syaikh Syinqithi rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Yang tersembunyi pun sama seperti yang nampak di sisi-Nya, dan Dia Maha Mengetahui gerak-gerik hati dan apa yang nampak.”[2]
Jadi Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui dan menyaksikan apa-apa yang tersembunyi dalam hati manusia, dan mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia di manapun ia berada, di darat, di udara maupun di laut, pada waktu malam atau pun siang, di dalam rumah atau pun di luar rumah; Semuanya sama dalam pengawasan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dia melihat di manapun manusia berada serta mengetahui apa-apa yang mereka sembunyikan.[3]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat lain :
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah sesungguhnya Allâh Maha pengampun lagi Maha penyantun. [al-Baqarah/2:235].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman pada ayat lain :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya bagi Allâh tidak ada suatupun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit. [Ali ‘Imrân/3:5]
Ayat di atas dan yang semisalnya menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu maha tahu terhadap segala sesuatu. Ini memberikan pelajaran agar kita senantiasa merasa diawasi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap ucapan dan tingkah-laku, karena kita tidaklah terlepas dari pengawasan-Nya.
Salah seorang dari Ulama salaf berkata, “Jika kalian melakukan suatu perbuatan, maka ingatlah bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala memandang perbuatanmu; dan jika engkau berbicara, maka ingatlah pendengaran Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas pembicaraanmu; dan ketika engkau diam, maka ingatlah pengetahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang ada di dalam hatimu).[4]
Murâqabatullah (rasa diawasi dan dilihat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) ini apabila menancap kuat dalm hati seorang hamba dalam setiap gerak-geriknya, maka ini akan membentengi dia dari perbuatan maksiat, sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Allâh yakni Yûsuf q menghindar dari godaan Zulaikhah, isteri seorang raja yang cantik jelita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan dalam firman-Nya :
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ
Dan wanita (Zulaikha) yang Yûsuf tinggal di rumahnya yang menggoda Yûsuf untuk menundukkan dirinya dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata:”Marilah kesini”, Yûsuf berkata: “Aku berlindung kepada Allâh”. [Yûsuf/12:23].
Demikian pula diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah, bahwasannya ada seorang al-A’rabi (orang gurun/baduwi), ketika ia keluar dari rumahnya saat malam hari yang gelap gulita ia bertemu dengan budak perempuan, kemudian ia ingin berbuat zina dengan budak tersebut, lalu si budak perempuan pun berkata, “Celaka kamu, apa kamu tidak malu melakukan ini ? Apa kamu tidak memiliki agama yang melarangmu dari perbuatan mesum ini?” Si Baduwi pun menjawab, “Sungguh, tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang di langit saja”. Si budak perempuan menjawab, “Bukankah Sang Pencipta bintang melihat kita ?”[5]
Murâqabah inilah yang menyebabkan seseorang berbuat jujur dalam tutur kata dan perilakunya. Murâqabah juga menjadikan seseorang melaksanakan amanat dan tidak berkhianat, berbuat adil dan tidak menzhalimi orang lain, tidak mengambil harta yang bukan haknya, baik secara sembunyi-sembunyi (korupsi) maupun terang-terangan (merampok). Jika murâqabah tersebut ada di hati setiap Muslim, niscaya dunia Islam akan menemui kejayaan, para pejabat tidak korupsi, bahkan menyisihkan harta mereka untuk fakir miskin serta menegakkan keadilan. Dengan murâqabah ini, para pedagang pun tidak mengurangi timbangan, tempat-tempat kemaksiatan pun akan gulung tikar dengan sendirinya, pencuri, perampok, PSK, pengedar dan konsumen narkoba akan meninggalkan profesi mereka, dengan tanpa adanya pemaksaan atas diri mereka.
Ada satu pertanyaan, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati seorang hamba, apakah setiap suara hati yang mengajak kepada kemungkaran akan dicatat sebagai kemaksiatan dan dosa ?
Sebagai jawaban dari pertanyaan ini adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا، أَوْ يَعْمَلُوا بِهِ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umatku dari bisikan jelek jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau melakukannya. (HR Bukhâri dan Muslim).[6]
Jadi, bisikan hati atau suara hati yang mungkar atau mengajak kepada kemungkaran tidak dicatat sebagai dosa, selagi hal itu tidak diungkapkan dengan ucapan atau diwujudkan dalam perbuatan.
Penafsiran Kedekatan Allâh Subhanahu wa Ta’ala Selanjutnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. [Qâf/50:16].
Sepotong ayat di atas, jika dipahami secara zhahir lafadznya (tekstual) memberikan pemahaman bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Pemahaman seperti ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada dalam diri manusia, sehingga ia tidak dapat membedakan antara si makhluk dengan sang Khaliq, sampai-sampai ada yang mengucapkan kalimat tahlîl dengan mengatakan “lâ ilâha illâ ana” (tidak ada tuhan kecuali aku), dengan beranggapan bahwa Sang Khaliq ada dalam dirinya. Pemahaman seperti ini tidak benar, dan Maha Suci Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari pemahaman seperti ini; Karena di samping menyelisihi pemahaman para Ulama, pemahaman ini juga memberi makna bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatu dengan semua orang, baik yang shalih, kafir maupun fasiq, Maha Tinggi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian itu…! Pemahaman ini juga menyelisihi ayat-ayat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, seperti disebutkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Dzat Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy-Nya. [Thahâ/20:5].
Pada ayat yang lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, [al-A’râf/7:54].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya untuk mengatur segala urusan…[Yûnus/10:3].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى
“Allâh-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai batas waktu yang ditentukan…[ar-Ra’d/13:2].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya [al-Furqân/25:59].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak menyatu dalam diri manusia.
Syaikhul-Islam mengatakan, “Adapun orang yang beranggapan bahwa kedekatan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat di atas adalah kedekatan Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka pemahaman yang seperti ini adalah sangat lemah, karena menurut mereka Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di mana mana. Kalaulah Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu ada di mana-mana, maka Ia dekat dengan segala sesuatu. Ia juga dekat dari seluruh anggota tubuh manusia; jika demikian, maka pengkhususan pada ayat di atas bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya menjadi tidak ada artinya.”[7]
Lantas, Bagaimanakah Penafsiran Para Ulama Terhadap Ayat Diatas ? Para Ulama, dalam menafsirkan ayat di atas, mereka berbeda pendapat.
Pendapat kedua inilah yang râjih (kuat) karena memiliki argumentasi yang kuat pula, diantaranya:
Pertama. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengikat potongan ayat di atas dengan Zharaf zaman (keterangan waktu) yang terletak pada ayat berikutnya, yakni :
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. [Qâf/50:17].
Hal itu memberikan makna, yang dimaksud dengan kedekatan Kami pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat-malaikat-Nya, dan tidak cocok kalau diartikan dengan kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla atau kedekatan kekuasaan-Nya, karena kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla dan kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya itu setiap saat dan tidak terikat dengan waktu tertentu. Dan andaikata diartikan dengan kedekatan ilmu atau kekuasaan, maka tidak ada artinya ikatan dzaraf zaman tersebut.[11]
Kedua. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan dengan kata jamak نحن (Kami). Hal ini, jika disebutkan di dalam ayat-ayat al-Qur’ân, maka maknanya adalah Allâh Azza wa Jalla melakukannya dengan cara memerintahkan para malaikat-Nya untuk melaksanakannya, seperti terdapat pada banyak ayat diantaranya :
نَتْلُو عَلَيْكَ مِنْ نَبَإِ مُوسَىٰ وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman [al-Qashash/28:3].
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum kami mewahyukannya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. [Yûsuf/12:3].
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ﴿١٧﴾ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya. [al-Qiyâmah/75:17-18].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang kesemuanya itu menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan tersebut adalah malaikat-malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas perintah-Nya.[12]
Ketiga. Penggunaan uslûb (gaya bahasa) semacam ini sudah tidak asing lagi dalam Bahasa Arab. Demikian ini sering digunakan oleh para pemimpin dan pembesar Arab, yakni menyandarkan perbuatan para prajurit kepada mereka, para pemimpin; yang perbuatan itu dilakukan atas dasar perintah dari pemimpin mereka. Oleh karena itu sebagian pemimpin mengatakan “kami telah menghabisi dan mengalahkan musuh”. Demikian pula para ahli sejarah mengatakan “Raja Fulan telah menaklukkan negara ini dan itu”, padahal yang melakukan adalah pasukan dan bala tentaranya atas perintahnya. Dan termasuk gaya bahasa yang seperti ini pula pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, yakni dengan memakai kata jamak yang menunjukkan bahwa yang melakukan hal itu adalah malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas dasar perintah-Nya.[13]
Dan masih banyak lagi argumentasi dari pendapat kedua tersebut. Jadi, maksud kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Perkataan Dan Perbuatan Manusia Dicatat Oleh Malaikat Selanjutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:18].
ada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa ucapan manusia itu tidak luput dari catatan dua malaikat-Nya yang ditugaskan sebagai pencatat amal. Yang satu mencatat amalan baik, dan yang lainnya mencatat amalan buruk. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi setiap hamba yang beriman untuk senantiasa merasa diawasi oleh malaikat pencatat amalan dalam setiap perkataaan dan tingkah lakunya.
Lalu apakah semua ucapan manusia itu dicatat oleh malaikat sampai yang mubah pula, misal seperti “Saya sudah makan, minum , pergi , datang”, dan lain-lain, atau hanya yang baik dan buruk saja?
Dalam hal ini, para Ulama berselisih pendapat terbagi dalam dua pendapat.
Untuk apa semua amalan manusia itu dicatat ? Bukankah Allâh Azza wa Jalla mengetahui semuanya ?
Jawabannya, betul, Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan hal itu, karena Dia mengetahui segalanya, tidak ada yang tersembunyi sesuatupun dari-Nya. Adapun Dia memerintahkan malaikat-Nya untuk mencatat amalan manusia adalah karena ada hikmah lain di balik itu; misalnya untuk menegakkan hujjah atau sebagai bukti atas manusia kelak pada hari kiamat bahwa ia pernah berkata dan berbuat demikian dan demikian, sehingga manusia tidak dapat mengingkarinya karena ada bukti catatan amalnya, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا ﴿١٣﴾ اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab (catatan amal) yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini menghitung amalanmu sendiri”. [al-Isrâ/17:13-14].[15]
Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 805, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut, cet. Pertama th. 1420 H/ 2000 M. [2] Adhwâ’ul Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân, 2/170. Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Lebanon, tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M. [3] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/9, Ismail bin Umar Ibn Katsir, Dar Thaibah, Arab Saudi, Cet. Kedua, Th. 1420 H/ 1999 M. [4] Siyar A’lâmun-Nubalâ’, 11/485. Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Muassasah ar-Risalah-Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1405 H/1985 M. [5] Syu’abul Îmân, 2/265, Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, Cet. Pertama, Th. 1423 H/ 2003M. [6] Sahîh Bukhâri, 8/135, Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Daar Thauqun-Najah, Cet. Ketiga, Th. 1422 H. Hadits no. 6664. Sahîh Muslim, 1/166. Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Daar Ihya’ Turats, Beirut, tanpa tahun. Hadits no. 201. [7] Syarah Hadîts al-Nuzûl, hlm. 133-134. Ahmad bin Abdul-Halim Ibn Taimiyyah, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cet. Kelima, Th. 1397 H/ 1977 M. Bit-tasharruf. [8] Mafâtihul Ghaib, Juz 28, hlm. 134. Muhammad bin Umar ar-Razi, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Kedua, Th. 1420 H. Lihat Tafsir Ibn ‘Asyur (al-Tahrîr wa al-Tanwîr), 26/301. Muhammad al-Thahir bin Muhammad Ibn ‘Asyur, al-Dar al-Tunusiyah li al-Nasyr, Tunisia, tanpa cet. Th. 1964 M. Lihat al-Kasysyaf ‘an Haqâiq Ghawamidh al-Tanzîl, 4/383. Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyari, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1407 H. Lihat Anwâr al-Tanzîl wa Asrar al-Ta’wil, 5/141. ‘Abdullah bin Umar al-Baidhawi, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Pertama, Th. 1418 H. [9]Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl Ayil-Qur’ân, 22/342. Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Muassasah ar-Risalah, Cet. Pertama, Th. 1420 H/ 2000 M. Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, 17/9. Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, Cet. Kedua, Th. 1384H/1964 M. [10] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398, Ibn Katsir. [11] Mukhtashar al- Shawîiq al-Mursalah, hlm. 480, Muhammad bin Muhammad al-Mushili, Dar al-Hadis, Kairo, Cet. Pertama, Th. 1422H/2001M. [12] Majmû’ al-Fatâwâ, 5/507, Ahmad bin ‘Abdul-Halim Ibn Taimiyah, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, Madinah Munawwarah. Cet. Th. 1416 H/ 1995 M. [13] Mukhtashar al-Shawâ-iq al-Mursalah, hlm. 494. [14] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398. [15] Adhwâul Bayân fi Îdhâhil Qur’ân bil-Qur’ân, 7/426. Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Libanon, tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M.